Oleh: Dyah Rifai
ChanelMuslim.com – Kalau mau jujur, apa yang sebenarnya kita tangisi ketika orang dekat kita meninggal?
Ketika 40, 100, 1000 hari dan seterusnya mereka berlalu, apa saja yang kita kenang?
Adakah hal berharga yang bisa kita warisi secara langsung maupun tidak langsung dari mereka?
Hanya harta benda atau juga kisah bermakna mereka semasa hidup?
Saya belajar memahami kesedihan dan rasa kehilangan karena kematian dari almarhum paman. Dia adalah adik laki-laki dari ayah saya. Beliau meninggal karena tertabrak saat menyeberang jalan raya.
Kata ayah, tidak ada darah yang keluar, tetapi ada luka lebam membulat di dada dan punggung. Ketika tiba di rumah sakit, dokter menyatakan telah meninggal. Ayah tidak percaya dan meminta dokter memastikan. Tapi itulah kehendak Allah.
Sementara kami sekeluarga yang di rumah menunggu kepastian kabar dari rumah sakit. Puput, Iin, Rofi’- mereka tiga sepupuku getar-getir menunggu kabar ayahnya di dalam kamar. Saya yang ketika itu masih lugu, bingung bagaimana cara menghibur dan menenangkan mereka. Mereka meraung-meraung di kamar dan memaksa keluar untuk liha menunggu kepulangan ayahnya.
Lama sekali kami menunggu. Entah berapa lama. Hingga kami sangat mengantuk. Tiba-tiba dari lubang kecil papan penyekat, kulihat sekujur tubuh berbalut kain putih. Saya diam dalam pikiran yang masih bingung. Apakah paman benar-benar meninggal? Secepat itu?
Pak Oleh–begitulah panggilannya-disukai banyak anak kecil karena kelucuan dan kelemah lembutannya. Pembawaannya tenang, hingga terpancar pada wajah jenazah beliau. Itulah pengalaman pertama kulihat wajah jenazah. Raut wajahnya tenang, putih bersih, dan sedikit tersenyum.
Sekarang saya sering menangis ketika terlintas wajah beliau. Baru sadar betapa sedihnya kehilangan motivator.
Inti ajaran islam adalah haqqul yaqin akan pertolongan Allah. Dan menurutku, pak Oleh menerapkannya dalam seluruh aspek hidupnya. Hidupnya miskin tetapi tekun beribadah, bicara seperlunya, selalu ceria, dan hampir tak pernah mengeluh. Beliau rutin ikut kajian di rumah Kyai di kampung saya, berjalan kaki dengan jarak tempuh lumayan jauh.
Kata istrinya, beliau rutin sholat tepat waktu meski pekerjaan sedang menumpuk; rutin puasa senin kamis; ringan sedekah; juga tidak pernah membentak istri dan anak-anak. Bahkan tetangga saya katanya berpapasan dengan Pak Oleh di Mekkah sewaktu beliau berhaji di antara kerumunan jamaah thowaf. Padahal di hari itu Pak Oleh meninggal. Subhanalloh.
Cerita itu salah satu yang memotivasi saya dalam banyak hal. Allah telah menunjukkan –bukti dan teladan- bahwa kemiskinan bukanlah penghalang untuk menjadi hamba yang taat, karena untuk menjadi taat jangan menungggu mapan secara ekonomi.
Maksud saya, ketidakmapanan ekonomi biasanya membuat orang berpikir lebih keras untuk mencukupi kekurangan yang sangat banyak. Hal inilah yang biasanya menjauhkan orang untuk meluangkan waktu ikut taklim, berpuasa sunnah, apalagi sedekah uang.
Keikhlasan menjalani hidup dan tetap menjaga iman-islam, kurang lebih itulah ‘harta berharga’ yang Pak Oleh punya.
Seiring waktu berlalu, saya berjanji pada diri sendiri untuk cari ilmu lebih banyak dari orang terdekat yang masih hidup, sebelum kehilangan untuk selamanya.
Saya mulai dengan lebih mengakrabi kakek yang juga tekun beribadah. Saya sempatkan curhat tentang lemahnya semangat saya mencari tambahan ilmu dan mengamalkannya. Mengalirlah nasehat dan cerita kakek yang beliau perkaya dengan hasil ngaji dari Pak Kyai.
Setiap malam selasa, beliau ikut taklim di rumah Pak Ridho, lalu disampaikan ulang ke saya. Saya merasa termotivasi. Tapi belum sampai berpikir untuk giat mengikuti taklim. Hal yang paling mengena adalah kesemangatan untuk tahajud.
“Berdoa itu bisa dilakukan kapan dan dimana saja, akan tetapi apakah pantas kita protes kepada Allah terhadap doa yang belum terkabul jika kita rutin berdoa sambil tidur?” begitu kata kakek.
Rutin berdoa sambil tidur? Hati saya sepenuhnya setuju walau pemahaman saya-ketika itu-masih sangat dangkal. Pamahamanku ketika itu, tahajud hanya bagi yang mampu, yaitu para orang yang sudah tua. Hehe. Lucu sekaligus menyedihkan.maklum karena masih dangkalnya pemahaman akan ajaran Islam.
Saya belum sampai ke pemikiran bahwa Allah memberikan rizqi kepada kita siang dan malam 24 jam. Mengapa kita hanya berdoa (sholat) sampai waktu isya’? Mengapa saya cenderung tak bersemangat menambah amalan.
NB: tulisan ini merupakan tulisan tiga terbaik dari Pelatihan Menulis ‘Menulis sebagai Oase Hati’ yang diadakan oleh ChanelMuslim.com